Jumat, 18 Februari 2011

Meredupnya pamor studio foto

Kurang tau persisnya kapan, tapi kira-kira lima tahun belakangan ini, studio-studio foto, khususnya di Jakarta, satu-persatu berguguran alias menutup usahanya. Kecuali yang memang sudah turun-temurun menjadi usaha keluarga dan sudah eksis semenjak saya masih duduk di taman kanak-kanak seperti King foto atau Tarzan foto.

Mencari penyebabnya persisnya juga agak sulit. Jika ingin mengkambing hitamkan peralihan dari fotografi analog ke fotografi digital, justru banyak studio foto yang malah booming pada saat itu, studio Royal Princess contohnya. Jika ingin beralasan menurunnya kebutuhan masyarakat akan jasa fotografi juga rasanya kurang pas. Karena setiap harinya selalu ada kegiatan yang memerlukan jasa fotografi di dalam penyelenggaraannya. Dari yang hanya sebatas keperluan untuk pas foto sampai dokumentasi pernikahan, dari masyarakat kelas bawah sampai golongan kelas atas.

Dulu sewaktu saya masih aktif bekerja di studio foto, seseorang tidak segan mengeluarkan uang sampai jutaan rupiah hanya untuk satu paket foto personal saja. Sekarang mereka akan berpikir dua kali jika harus menghabiskan uang dua ratus ribuan hanya untuk sebuah sesi foto.

Walhasil orang baru akan berpikir untuk ke studio foto jika mereka memiliki acara yang memang membutuhkan foto-foto yang lebih serius sebagai sarana dokumentasinya. Misalnya; acara pernikahan, wisuda, foto keluarga, modelling, atau hanya untuk sekedar pas foto.

Kalau boleh sedikit menyimpulkan, hal ini disebabkan karena fotografi sekarang sudah lebih dekat dengan keseharian, tidak lagi eksklusif milik studio foto seperti dulu. Handphone sudah banyak yang berkamera, orang lebih suka memilih suasana outdoor untuk acara foto-foto mereka. Fotografer-fotografer freelance dengan kekuatan promosi onlinenya begitu menjamur. Studio foto yang tidak kuat modalnya dan amburadul marketingnya, dengan sendirinya akan tergulung oleh dinamisnya perubahan di jagad jasa fotografi sekarang ini.



Sumber foto

Selasa, 08 Februari 2011

Pujian kosong di Facebook

Ketika menjalani ritual pagi di dunia maya, seperti biasa saya memeriksa inbox di email utama saya. Wah, cukup banyak surat yang masuk pagi itu, tapi setelah dibuka ternyata 'hanya' dari Facebook. Lalu setelah diperiksa satu persatu isinya hanyalah pujian terhadap sebuah foto sederhana karya sahabat fotografer yang telah men-tag banyak nama teman-temannya.

"Mantap, gan..", "Nice shot, bro..", "Keren, Oom..", begitulah kata-kata pujian yang sering dilontarkan pada kolom komentarnya. Hanya sekedar pujian basa-basi dan mencoba bersikap sopan untuk menghargai usaha sahabat yang telah mengunggah hasil karya fotonya dan dengan harapan agar fotonya balik dikomentari lalu merasa eksis.

Pernah sekali waktu saya memberi masukkan dan kritikan tajam pada sebuah foto, tapi si empunya meminta untuk tidak mengkritik terlalu tajam karena Facebook ia gunakan juga sebagai sarana promosi bagi jasa fotografinya dan nggak enak rasanya kalau sampai dilihat oleh calon klien atau malah ada yang bernada ofensif dengan mengatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi saya untuk mengatakan bahwa karya fotonya istimewa.

Jika menurut saya memang bagus, saya akan bilang bagus. Lalu jika ada yang ingin saya beri masukkan, maka akan saya sampaikan dengan sopan. Sungguh saya tidak merasa sudah jago atau mumpuni di bidang fotografi ini. Saya hanya merasa bahwa jaringan sosial media online semacam Facebook dapat kita manfaatkan untuk saling memberi masukkan dan kritik yang membangun demi kemajuan bersama.

Memang kritik terkadang terasa pedas, tapi daripada hanya mendapat pujian kosong yang hanya sekedar basa-basi terus menjadi sebuah kebanggaan palsu...

Bagaimana pendapat sahabat?

Kamis, 03 Februari 2011

Fotografer banting harga

Dari jaman fotografi analog dulu sampai dengan yang serba digital seperti sekarang ini memang tidak pernah ada yang namanya rate harga fix yang harus diikuti oleh seorang fotografer didalam menjajakan jasa fotografinya.

Kan nggak mungkin kalo kita mau membandingkan harga jasa fotografi dari sebuah studio bridal kenamaan di Jakarta dengan harga jasanya Mang Ihin yang biasa mendokumentasikan acara sunatan atau pengantin rumahan di kampung.

Semua berpulang kepada tingkat apresiasi tiap individu terhadap bentuk seni fotografi, kebutuhan atau peruntukan dalam menggunakannya, juga kesanggupan didalam membayar daya kreatifitas yang sudah dihasilkan oleh seorang fotografer. Semua itu merupakan faktor eksternal yang menentukan berapa nominal sebuah harga jasa fotografi akan dipatok.

Sempat prihatin juga ketika membaca thread di sebuah komunitas online terbesar; ada fotografer yang menjual jasanya begitu murah. Saya hanya berpikir apa harga yang dia tawarkan tersebut dapat menutupi ongkos produksinya, bagaimana dengan kualitas hasil kerjanya. Dan biasanya alasan mereka jualan murah adalah; biar ada order yang masuk, cari pengalaman, buat nambah portfolio, mengumpulkan relasi dan lain sebagainya.

Tapi akhirnya saya sadar, bahwa masyarakat kita pasti sudah lebih pintar. Mereka lebih tau apa yang mereka butuhkan, sampai di mana kualitasnya, dan berapa mereka sanggup membayarnya. Dan setiap segmen jasa fotografi pasti mempunyai pasarnya masing-masing serta keprofesionalan didalam menjalankannya adalah di atas segalanya.


Foto : tukangpoto