Jumat, 22 Juni 2012

Memotret dengan hati

Ketika kita melihat sebuah karya foto yang dipresentasikan secara apik dan memukau pada suatu kesempatan, dapat dipastikan sudah terbersit suatu perkiraan di hati masing-masing pemirsa yang menyaksikan hasil karya seni tersebut. Bahwa foto tersebut dihasilkan oleh seorang fotografer profesional, menggunakan kamera DSLR merk tertentu keluaran terbaru yang lengkap dengan feature yang mumpuni.

Tetapi semua perkiraan akan segala kemungkinan canggih tersebut segera terbantahkan demi melihat apa yang tertera di kolom kredit fotonya. Bahwa foto yang memukau tersebut 'hanya' dihasilkan oleh seorang pecinta fotografi amatir dengan menggunakan kamera semi otomatis non-DSLR ditambah sedikit re-komposisi kemudian menambah satu stop level brightness nya pada saat proses editing. Hanya itu, nggak lebih.

Berondongan pertanyaan pun tak kuasa dibendung oleh benak para penikmat foto tersebut, kok bisa? Apa resepnya?

Mungkin para praktisi fotografi akan ingat bagaimana waktu dulu memulai passion mereka di fotografi. Segala cara untuk membuat sebuah karya fotografi yang baik pastinya akan ditelusuri secara mendetail, tidak ada yang terlewat satu langkahpun. Bagaimana cara mengantisipasi momen yang tepat, angle atau sudut pandang yang tidak biasa, komposisi yang membuai mata, serta lighting yang dramatis. Semua itu dilakukan dengan niat yang tulus untuk membuat karya foto yang baik tanpa ada embel-embel pesan dari sponsor, permintaan klien yang cerewet dan tidak logis, atau tuntutan dapur harus ngebul.

Di jaman ketika membuat foto menjadi semakin 'mudah', di mana karya fotografi sudah bias dengan sekedar digital imaging, pada saat para fotografer lebih mementingkan kuantitas jepretan shutter release nya dan kemudian menyerahkan seluruh sentuhan estetis hasil fotonya pada saat proses editing, alangkah eloknya jika kita para penikmat dan pecinta karya fotografi dapat mengembalikan harkat fotografi pada 'porsi' nya demi kebaikan dunia fotografi itu sendiri.

Jujur saya akui tidak mudah untuk menepis kemudahan dan kenikmatan yang ditawarkan oleh fotografi digital. Tapi sebaiknya para fotograferlah yang kembali pegang kendali, bukan gadget digital canggih ataupun software editing yang mumpuni kemampuan memanipulasinya. Kita persilahkan pada kepekaan rasa para fotografer yang menjadi raja. Biarkan hati mereka yang berbicara, biarkan mereka kembali memotret dengan hati.